Berangkat
dari sebuah Inspirasi tentang seorang sahabat yang sekaligus menjadi seorang
menantu Rasullullah SAW setelah menikah dengan anaknya Fatimah Az-Zahra yaitu
yang di kenal dengan nama Ali bin Abu Thalib yang lahir pada 13 Rajab 23 Pra
Hijriah/599 dan wafat pada 21 Ramadan 40
Hijriah/661. Menurut Sunni, Ali adalah Khalifah
terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Berbeda dengan Syi'ah berpendapat bahwa ia
adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad
SAW, akan tetapi meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju
memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah
yang sekaligus juga Imam.
Ketika
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq
menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau
orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik
ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada
usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW
karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini
berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti
bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani
(spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah
'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf
yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau
Sahabat-sahabat yang lain.
Karena
bila ilmu Syari'ah
atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan
semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya,
sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu
dengan kapasitas masing-masing.
Didikan
langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir
(exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali
menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali
bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy
yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang
tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur,
sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Perkawinan
Setelah
masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah
az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang
paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim),
yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad
(setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah
Nabi dan banyak hal lain.
Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu
Muhammad
pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah
wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab.
Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa
saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah
Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy
Mekkah
yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau
menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang
Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi
Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar
bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah
Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin
dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga
pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh,
biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka
benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok,
akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia
akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya.
Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka,
seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun,
temyata Ali bin
Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu
menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang
berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah
menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir
semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad
untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai
disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan
pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad
wafat. Syi'ah
berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum)
bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat,
sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang
Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut
riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu
peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan
ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba
di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM."
Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah
di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam
khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap
aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah,
pimpinlah
orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan
Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan
pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib
terhadap Abu Bakar
sebagai Khalifah
pengganti Rasulullah.
Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah
itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar
setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah
meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada
yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah
karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan
dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai khalifah
Peristiwa
pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin
Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu
itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu
itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin
Awwam dan Talhah bin Ubaidillah
memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali
satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya
dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai
Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya
mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah
sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang
saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran
Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin
Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan
Ummul
mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah.
Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan
waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas
dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau
masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada
sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di
kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai
di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan
kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali
bin Abi Thalib,
seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang,
mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang
ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena
pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam,
seseorang yang berasal dari golongan Khawarij
(pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali
menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah.
Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia
dikubur di tempat lain.
Semua
ini saya Rangkum mengenai sejarah Hidup seorang Ali Bin Abu Thalib, sedangkan
inti dari inspirasi atas nama blog ini adalah.
Mengenai hal itu cukuplah dikemukakan saja ucapan Rasul Allah s.a.w. yang menegaskan: “Aku ini adalah kotanya ilmu atau kotanya hikmah, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya. Barang siapa ingin memperoleh ilmu hendaknya ia Mengambil Lewat Puntunya.”
Allah s.w.t. telah melimpahkan nikmat tiada terhingga kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berupa ilmu dan hikmah, sehingga ia menjadi orang yang paling banyak mengetahui dan menguasai isi A1 Qur’an serta ajaran-ajaran Rasul Allah s.a.w. Dengan sendirinya ia pun merupakan orang yang paling mampu menetapkan fatwa hukum Islam. Sebenarnya hal itu bukan merupakKan satu kejutan, karena dia adalah satu-satunya orang muslim yang terdini memeluk Islam dan hidup langsung di bawah naungan wahyu sejak masa kanak-kanak sampai dewasa.
Sebuah riwayat hadits yang berasal dari Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a: “Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada seorang Qureisy pun yang dapat menyangkalnya, yaitu:
Jadi, kalau Rasul Allah s.a.w. sendiri sudah menilai Imam Ali r.a. sedemikian lengkapnya, tidaklah keliru kalau dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. merupakan kualitas pilihan di kalangan ummat Islam.
Brikut Ini Adalas sebuah kisah yang menggambarkan ilmu Imam Ali Bin Abu Tbalib.
Saudaraku sekalian, dalam kesempatan kali ini saya akan mengajak Anda untuk kembali mengulik sejarah orang-orang shalih terdahulu. Ini bertujuan agar kita bisa mengambil banyak pelajaran dan ilmunya. Dan untuk pembahasan kali ini, maka kita akan lebih jauh mengenali sosok Imam Ali bin Abi Thalib RA. Seorang sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah Muhammad SAW. Tentang betapa luas dan tingginya ilmu yang beliau miliki. Juga mengenai kecerdasan dan daya ingatnya terhadap informasi dan pengetahuan dari Rasulullah SAW dan tentunya Allah SWT.
Dalam riwayat yang
ditulisnya, Ibnu Abbas mengatakan: “Demi Allah, Rasul Allah s.a.w. telah
memberi kepada Imam Ali sembilan-persepuluh dari semua ilmu yang ada, dan demi
Allah, Imam Ali masih juga mengetahui sebagian dari sepersepuluh ilmu sisanya
yang ada pada kalian atau pada mereka.”
Mengenai hal itu cukuplah dikemukakan saja ucapan Rasul Allah s.a.w. yang menegaskan: “Aku ini adalah kotanya ilmu atau kotanya hikmah, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya. Barang siapa ingin memperoleh ilmu hendaknya ia Mengambil Lewat Puntunya.”
Allah s.w.t. telah melimpahkan nikmat tiada terhingga kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berupa ilmu dan hikmah, sehingga ia menjadi orang yang paling banyak mengetahui dan menguasai isi A1 Qur’an serta ajaran-ajaran Rasul Allah s.a.w. Dengan sendirinya ia pun merupakan orang yang paling mampu menetapkan fatwa hukum Islam. Sebenarnya hal itu bukan merupakKan satu kejutan, karena dia adalah satu-satunya orang muslim yang terdini memeluk Islam dan hidup langsung di bawah naungan wahyu sejak masa kanak-kanak sampai dewasa.
Sebuah riwayat hadits yang berasal dari Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a: “Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada seorang Qureisy pun yang dapat menyangkalnya, yaitu:
·
Engkau
adalah orang pertama yang beriman kepada Allah,
·
Engkau
orang yang terdekat dengan janji Allah,
·
Engkau
orang yang termampu menegakkan perintah Allah,
·
Engkau
orang yang paling adil mengatur pembagian (ghanimah),
·
Engkau
orang yang paling berlaku adil terhadap rakyat,
·
Engkau
paling banyak mengetahui semua persoalan, dan
·
Engkau
orang yang paling tinggi nilai kebaikan sifatnya di sisi Allah."
Jadi, kalau Rasul Allah s.a.w. sendiri sudah menilai Imam Ali r.a. sedemikian lengkapnya, tidaklah keliru kalau dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. merupakan kualitas pilihan di kalangan ummat Islam.
Brikut Ini Adalas sebuah kisah yang menggambarkan ilmu Imam Ali Bin Abu Tbalib.
Saudaraku sekalian, dalam kesempatan kali ini saya akan mengajak Anda untuk kembali mengulik sejarah orang-orang shalih terdahulu. Ini bertujuan agar kita bisa mengambil banyak pelajaran dan ilmunya. Dan untuk pembahasan kali ini, maka kita akan lebih jauh mengenali sosok Imam Ali bin Abi Thalib RA. Seorang sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah Muhammad SAW. Tentang betapa luas dan tingginya ilmu yang beliau miliki. Juga mengenai kecerdasan dan daya ingatnya terhadap informasi dan pengetahuan dari Rasulullah SAW dan tentunya Allah SWT.
Nah, untuk
mempersingkat waktu, mari ikuti penelurusan berikut ini:
Di kala
Umar bin Khaththab RA memangku jabatan sebagai Amirul
Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, Anda adalah pemegang
kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya,
Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa
masalah penting kepada Anda. Jika Anda dapat memberi jawaban kepada kami,
barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad
benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban,
berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar RA.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci
(gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai
pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan
yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang
suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan
manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang
dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan
dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang
dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang
dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan
oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di
waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang
meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang
berkicau?”
Khalifah Umar RA menundukkan kepala untuk
berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’
atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan
suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti
itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan,
sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang
Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi RA yang saat itu hadir,
segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu
sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi
Thalib RA. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abul Hasan, selamatkanlah agama
Islam!”
Imam Ali RA bingung, lalu bertanya:
“Mengapa?”
Salman RA kemudian menceritakan apa yang sedang
dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat
menuju ke rumah Khalifah Umar RA, berjalan lenggang memakai burdah (selembar
kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar
melihat Ali bin Abi Thalib RA datang, ia bangun dari tempat duduk lalu
buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abul Hasan, tiap ada kesulitan besar,
engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para
pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib RA herkata:
“Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW.
sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai
seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib RA berkata:
“Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti
sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam
Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,”
kata Ali bin Abi Thalib RA.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci
(gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
Jawab
Imam Ali RA: “Induk kunci itu ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba
Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak
akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak
kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib RA menjawab: “Anak
kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di
antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih
lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang
menelan Nabi Yunus AS putera Matta. Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh
samudera!” jawab Ali bin Abi Thalib RA.
Pendeta-pendeta itu meneruskan
pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi
peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib RA menjawab: “Makhluk
itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu
berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman
kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan
mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya:
“Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas
permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang
dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk
itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba
Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi
itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam
Ali RA lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun
berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku
sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai
benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan
kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,”
sahut Imam Ali RA.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah
orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan
kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib RA menjawab: “Hai
pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu
sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan
kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah
banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar
tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka,
nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua
kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan
duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang
diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad
Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi
di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama
Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru
setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang
terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang
raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar
oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat
congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya,
dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan
ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang
bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan
ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai
saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu
marmar. Panjangnya satu farsakh (sekitar 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah
kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk.
Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk
para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas
singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan
berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali
menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9
buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang
pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan
baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna
hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing
diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain
mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan,
untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil
suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah
kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi.
Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama
enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali RA menjawab:
“Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang
berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding
dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi
istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang
pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga.
Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung
ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala
yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu
ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis
dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi
mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas
piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam
piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi
isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,
sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas
singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah
diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut,
demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku
diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang
terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi
pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau
taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh
sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup
lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka
tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya,
raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala,
tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing
masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan
peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa
disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu
sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang
berdiri di sebelah kanan – seorang cerdas yang bernama Tamlikha – memperhatikan
keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam
hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya,
tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air
besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari
selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara
bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima
orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum,
tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya:
“Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku
sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin
minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang
merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,”
ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah
yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara,
tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah
yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias
langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi
ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah
yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang
dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah
yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara
hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan
sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut
di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai
Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau
tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik
aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang
dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak
pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3
dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat
berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota,
Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah
terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari
kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing.
Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena
tidak biasa berjalan kaki sejauh itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala
menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala,
apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian
inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti
kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan
kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka.
“Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan
selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu
menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka,
penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki
mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada
dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak
mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera
kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti.
Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya.
Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi
Thalib RA memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika
enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata
kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar
rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan
teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa
kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah,
tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan
dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka
lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama
mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu,
bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan
apakah nama gua itu?!”
Imam Ali RA menjelaskan: “Gunung itu
bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama
Kheram!”
Ali bin Abi Thalib RA meneruskan
ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan
memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang
tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di
dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok
sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian
Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada
masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk
membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan
matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari
arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan
mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru
saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat
jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama
80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring
di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu
benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba,
mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan
semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya:
“Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu
tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar
mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka
tinggal selama 309 tahun. Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah
s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai
memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa
beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua,
tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang
ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa
lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan
bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli
makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai
saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi,
hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala,
ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang
sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah
diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau
berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang
bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku
ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca
Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di
sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah
nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya
Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata
Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti
keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang
ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian
berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib RA: “Hai Ali, kalau
benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama
itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali RA menerangkan: “Kekasihku
Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh
Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh
dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya:
Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku!
Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku!
Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal
Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah
kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata:
“Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan
sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja
durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari
300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa
pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan
bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha:
“Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab
orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak
perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima
saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan
selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama
sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan:
“Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja
lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah
raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih
1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang
lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama
orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai
rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah
seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang
menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah
yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada
orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah
seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya
sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah
terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang
datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha
menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada
Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi
lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba
orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah
datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri
dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia
lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita,
Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan
bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua
itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera
datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi.
Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha
diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan
dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa
semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh
dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi
beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing
pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali RA melanjutkan
ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada
di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang
bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga
Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti
saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk
seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri
kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata:
“Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan
Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari
saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah
tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia!
Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah
beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu
dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai
Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang
menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?”
Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun
akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke
atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan
kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka.
Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah
SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu
segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari
pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk
lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang
betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT Dua orang bangsawan itu memandang semua
peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan
Allah kepada mereka
Bangsawan yang beragama Islam lalu
berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah
tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani
berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan
sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan
setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh
bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
SWT berfirman:
“Dan begitulah Kami menyerempakkan
mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa
Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka
dalam urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang
menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib
berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta
Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah
semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abul
Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun!
Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah
serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu
di kalangan ummat ini!”
*****
Subhanallah… betapa tak
terbayangkan jika diri ini bisa berhadapan langsung dengan Imam Ali RA dan bisa
langsung belajar tentang banyak ilmu kepadanya. Membaca kisah di atas saja
sudah cukup menjelaskan bahwa beliau ini adalah benar sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW yaitu sebagai “Pintunya ilmu”. Terlebih beliau sendiri di ajari
langsung oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW tentang beragam ilmu dan
pengetahuan, selain hidayah yang di dapatkan dari Allah SWT. Sehingga bisa
dikatakan bahwa beliau ini adalah cendikiawan Muslim yang pertama.
Jâbir bin Abdillah berkata: “Pada
peristiwa Hudaibiyah, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda sambil memegang
tangan Ali RA: “Orang ini adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi
orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa
yang menghinanya.’ Lalunya mengeraskan suaranya: “Aku adalah kota ilmu, sedang
Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk
melalui pintunya”
“Engkau
(Ali RA) adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu” (HR. Al-Bukhari).
Semoga dengan kisah ini, maka sebagai seorang
Muslim kita lebih termotivasi untuk terus mengkaji beragam ilmu yang terbentang
luas di jagat raya ini dan tidak pula melupakan kenangan sejarah kemuliaan dari
generasi shalih terdahulu.
Yogyakarta, 22 Februari 2012
Mashudi Antoro (Oedi`)
Mashudi Antoro (Oedi`)
[Disadur dari kitab: Qishasul Anbiya
yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah,
karya: As-Sayyid Murtadha Al-Huseiniy Al-Faruz Aabaad]
Mungkin
Ini saja yang dapat saya gambarkan mengapa saya menjadika Pintu Gerbang Ilmu
Sebagai Thema di blog ini, terima kasih karena sudah membaca dan semoga ilmu
yang kita dapat menjadi Ilmu yang bermanfaat kelak.